CERITA ini mengenai peristiwa banjir yang disalah-pahami dalam
mengatisipasinya. Kisahnya sbb; Diawali hujan lebat yang terus-menerus,
tanpa henti selama beberapa hari, ditambah lingkungan alam yang sudah
rusak akibat ulah tangan-tangan tak bertanggung jawab,
maka tak pelak air mulai meluap dari sungai dan menggenangi hunian. Sedikit demi sedikit namun pasti, air meninggi menenggelamkan segala yang ada.Diantara bangunan yang ada, sebut saja sebuah “tempat ibadah”, tidak luput dari genangan banjir yang memang tidak pandang bulu. Menghadapi situasi yang demikian, penjaga “tempat ibadah” tersebut melakukan doa agar Tuhan kiranya dapat menyelamatkan “tempat ibadah” serta dirinya yang telah sekian lama ‘mengabdi’.
Waktu terus berjalan dan banjirpun kian meninggi; radio, televisi, memberitakan bahwa ramalan cuaca BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika) mengisyaratkan keadaan bisa semakin buruk. Kepala desa, segera memberi perintah pamongnya memukul kentongan sebagai tanda bahaya serta lewat pengeras suara berkeliling mengumumkan agar penduduk segera mengungsi. Mendengar pengumuman agar mengungsi, penjaga “tempat ibadah” itu merasa berat meninggalkan “tempat ibadah” yang selama ini sudah menjadi ‘rumahnya’, maka iapun berdoa kepada Tuhan dengan penuh pengharapan agar hujan dihentikan, banjirpun segera surut. Air sudah meninggi hingga atap rumah, tim SAR (penyelamat) yang diterjunkan bekerja keras mengevakuasi penduduk berlomba dengan meningginya air. Namun penjaga “tempat ibadah” itu tetap bertahan karena dia percaya bahwa Tuhan tentu mendengar doanya dan akan mengabulkan apa yang dia minta, sebagai imbalan pengabdiannya.
Akhirnya, banjir betul-betul menenggelamkan semua yang ada, termasuk penjaga “tempat ibadah” yang tidak mau meninggalkan ‘rumahnya’ itu. Kasihan, dia tenggelam pada “imajinasi”nya, dia tidak menyadari bahwa sesungguhnya Tuhan mendengar doanya dan sudah ‘memberitakan’ melalui pemberitaan radio maupun televisi akan bahaya banjir tersebut, bahkan Tim SAR pun sudah ‘diperintahkan’ untuk menyelamatkannya. Namun semuanya tidak ditanggapi bahkan ditolaknya.
Bahaya yang datang oleh ujian Thian, dapat dihindari; Tetapi bahaya yang dibuat sendiri, tidak dapat dihindari.(Bingcu IV A ; 8)
Dengan ceritera di atas, nampak sekali bahwa merasa ‘mempunyai agama’ (having religion), bukan selalu berarti telah memiliki pemahaman yang benar terhadap kebenaran yang diajarkan agama. Dalam beberapa hal memang kita menyalah-artikan, apa yang dipandang sebagai ‘pertolongan Tuhan’ lewat satu dan lain cara. Lebih-lebih, jika terperangkap ‘imajinasi pertolongan Tuhan’ dalam angan-angan kita. Seakan-akan, Tuhan pasti menolong kita dari sesuatu bencana, menurut ‘apa yang kita harapkan’. Disinilah letak kesalahan bahkan kesalahan yang kaprah, seolah-olah Tuhan harus mengikuti keinginan kita bahkan harus menurut perintah kita. Padahal melalui tanda-tanda alam Tuhan telah mengirim sinyal-sinyal, kita sendirilah yang kadang-kadang tidak dapat memahaminya. Kita perhatikan kejadian akbar baru-baru ini, bencana stunami.
maka tak pelak air mulai meluap dari sungai dan menggenangi hunian. Sedikit demi sedikit namun pasti, air meninggi menenggelamkan segala yang ada.Diantara bangunan yang ada, sebut saja sebuah “tempat ibadah”, tidak luput dari genangan banjir yang memang tidak pandang bulu. Menghadapi situasi yang demikian, penjaga “tempat ibadah” tersebut melakukan doa agar Tuhan kiranya dapat menyelamatkan “tempat ibadah” serta dirinya yang telah sekian lama ‘mengabdi’.
Waktu terus berjalan dan banjirpun kian meninggi; radio, televisi, memberitakan bahwa ramalan cuaca BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika) mengisyaratkan keadaan bisa semakin buruk. Kepala desa, segera memberi perintah pamongnya memukul kentongan sebagai tanda bahaya serta lewat pengeras suara berkeliling mengumumkan agar penduduk segera mengungsi. Mendengar pengumuman agar mengungsi, penjaga “tempat ibadah” itu merasa berat meninggalkan “tempat ibadah” yang selama ini sudah menjadi ‘rumahnya’, maka iapun berdoa kepada Tuhan dengan penuh pengharapan agar hujan dihentikan, banjirpun segera surut. Air sudah meninggi hingga atap rumah, tim SAR (penyelamat) yang diterjunkan bekerja keras mengevakuasi penduduk berlomba dengan meningginya air. Namun penjaga “tempat ibadah” itu tetap bertahan karena dia percaya bahwa Tuhan tentu mendengar doanya dan akan mengabulkan apa yang dia minta, sebagai imbalan pengabdiannya.
Akhirnya, banjir betul-betul menenggelamkan semua yang ada, termasuk penjaga “tempat ibadah” yang tidak mau meninggalkan ‘rumahnya’ itu. Kasihan, dia tenggelam pada “imajinasi”nya, dia tidak menyadari bahwa sesungguhnya Tuhan mendengar doanya dan sudah ‘memberitakan’ melalui pemberitaan radio maupun televisi akan bahaya banjir tersebut, bahkan Tim SAR pun sudah ‘diperintahkan’ untuk menyelamatkannya. Namun semuanya tidak ditanggapi bahkan ditolaknya.
Bahaya yang datang oleh ujian Thian, dapat dihindari; Tetapi bahaya yang dibuat sendiri, tidak dapat dihindari.(Bingcu IV A ; 8)
Dengan ceritera di atas, nampak sekali bahwa merasa ‘mempunyai agama’ (having religion), bukan selalu berarti telah memiliki pemahaman yang benar terhadap kebenaran yang diajarkan agama. Dalam beberapa hal memang kita menyalah-artikan, apa yang dipandang sebagai ‘pertolongan Tuhan’ lewat satu dan lain cara. Lebih-lebih, jika terperangkap ‘imajinasi pertolongan Tuhan’ dalam angan-angan kita. Seakan-akan, Tuhan pasti menolong kita dari sesuatu bencana, menurut ‘apa yang kita harapkan’. Disinilah letak kesalahan bahkan kesalahan yang kaprah, seolah-olah Tuhan harus mengikuti keinginan kita bahkan harus menurut perintah kita. Padahal melalui tanda-tanda alam Tuhan telah mengirim sinyal-sinyal, kita sendirilah yang kadang-kadang tidak dapat memahaminya. Kita perhatikan kejadian akbar baru-baru ini, bencana stunami.
Diceriterakan
oleh banyak kalangan tidak ada gajah, kelinci ataupun kerbau yang mati
oleh gelombang tsunami kecuali binatang itu terperangkap di dalam
kandangnya. Mereka telah dapat membaca tanda-tanda alam sehingga mereka
dapat lari menghindari bencana. Inilah yang oleh rasul Bingcu
diingatkan, bahwa sesungguhnya ‘kesalahan’ fikiran atau keinginan kita
sendirilah yang justru menjerumuskan kita pada bencana. Padahal,
sesungguhnya, seorang yang memiliki iman akan Tuhan, harusnya memiliki
keyakinan, bahwa sesungguhnya Tuhan itu tidak mungkin kita ‘gambarkan’
seperti ‘imajinasi’ kita.
Sungguh Maha Besar Kebajikan Tuhan Yang Maha Roh (Kwi Sin);
Dilihat tiada tampak, didengar tiada terdengar, namun tiap wujud tiada yang tanpa Dia. Adapun kenyataan Tuhan Yang Roh tak boleh diperkirakan, lebih-lebih tidak dapat ditetapkan (Tiong Yong XV)Maka hendaknya kita benar-benar tulus mengimani akan Hakekat Tuhan, menjalani apa yang Tuhan inginkan, bukannya mengharapkan Tuhan mengikuti apa yang kita inginkan. Dengan demikian kita mampu mengamalkan kebenaran agama itu secara benar dan menjadi seorang yang beriman dengan benar ( being religious )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar