Sejak
zaman dulu sebenarnya ada 2 jenis kertas yang digunakan dalam tradisi
ini, yaitu kertas yang bagian tengahnya berwarna keemasan (Kim Cua) dan
kertas yang bagian tengahnya berwarna keperakan (Gin Cua). Menurut
kebiasaan-nya Kim Cua (Kertas Emas) digunakan untuk upacara sembahyang
kepada dewa-dewa, sedangkan Gin Cua (Kertas Perak) untuk upacara
sembahyang kepada para leluhur dan arwah-arwah orang yang sudah
meninggal dunia.
Mereka
yang mempercayai tradisi ini beranggapan bahwa dengan membakar kertas
emas dan perak itu berarti mereka telah memberikan kepingan uang emas
dan uang perak kepada para dewa atau leluhur mereka; sebagaimana
diketahui kepingan emas dan perak adalah mata uang yang berlaku pada
zaman Tiongkok kuno.
Tetapi
ternyata kemajuan zaman telah mempengaruhi pula tradisi ini, sekarang
yang dibakar bukan hanya kertas emas dan perak, ada pula sejenis uang
kertas dengan nilai nominal aduhai (milyaran), yang bentuknya mirip
dengan uang kertas yang digunakan pada zaman sekarang. Yang
membedakannya adalah kalau pada uang kertas yang berlaku pada umumnya
ada yang bergambar kepala negara atau pahlawan, tetapi pada uang kertas
yang akan dikirim kepada para leluhur yang telah meninggal ini bergambar
Yen Lo Wang (Giam Lo Ong) yakni Dewa Yama, penguasa alam neraka, dan
adanya tulisan "Hell Bank Note" (Mata Uang Neraka). Sebenarnya
ini adalah salah kaprah yang perlu diluruskan, karena yang semestinya
uang-uangan ini dimaksudkan untuk alam baka dan bukan neraka.
Entah dari mana asal mula timbulnya ide untuk membuat dan membakar uang
kertas akhirat seperti itu, mungkin dasar pemikirannya adalah karena
sekarang mata uang tidak lagi berupa kepingan emas dan perak, melainkan
uang kertas; tentunya di alam sana juga perlu penyesuaian.
Menurut
penuturan salah satu pembuat rumah-rumahan kertas dari Semarang, Ong
Bing Hok, membakar rumah kertas adalah tradisi penganut Kong Hu Cu.
Namun dari beberapa artikel disebutkan, tradisi ini justru berasal dari
seorang kaisar China beragama Budha. Walaupun tidak serta merta juga
bisa dikatakan ini adalah tradisi Budha (karena memang bukan).
Sebenarnya, menghormati leluhur memang sudah menjadi bagian dari
kehidupan masyarakat Cina, sehingga apapun agamanya, mereka kebanyakan
masih menjalankan tradisi ini.
Konon
tradisi "Bakar Rumah-rumahan dan uang Kertas" ini baru dimulai pada
zaman pemerintahan Kaisar Lie Sie Bien (Lie She Min) dari Kerajaan Tang
di Tiongkok. Lie Sie Bien adalah seorang kaisar yang adil dan bijaksana
serta pemeluk Agama Buddha yang taat sehingga beliau dicintai oleh
rakyatnya.
Dalam
pandangan Kaisar sendiri, beliau puas dengan kemakmuran yang ada
disekeliling beliau. Masyarakat dikota raja semuanya hidup bahagia,
tenteram dan damai. Sampai suatu ketika sang raja pergi keluar kota raja
dan melihat keadaan masyarakatnya yang sesungguhnya.
Keadaan
diluar kota raja sungguh menyedihkan. Mereka hanya cukup untuk makan,
namun mereka tidak punya apa-apa dan hidup dalam kemiskinan. Yang ada
hanyalah pohon-pohonan bambu saja dihalaman rumah mereka.
Sekembalinya
ke kota raja, sang kaisar murung dan terus berpikir keras bagaimana
caranya untuk menyeimbangkan kesejahteraan rakyatnya baik yang dikota
maupun diluar kota raja. Akhirnya kemudian dikisahkan sang raja
mendapatkan ide untuk berpura-pura mangkat, dengan demikian maka seluruh
orang kaya di kota raja akan berkumpul untuk melayat beliau.
Disebarkan
kabar bahwa Kaisar menderita sakit yang cukup parah, mendengar kabar
ini rakyat menjadi sedih. Beberapa hari kemudian secara resmi keluar
pengumuman dari Kerajaan bahwa Kaisar Lie Sie Bien meninggal dunia.
Rakyat benar benar berduka-cita karena merasa kehilangan seorang Kaisar
yang dicintai, sebagai ungkapan rasa duka cita ini penduduk memasang
kain putih di depan pintu rumahnya masing-masing tanda ikut berkabung
atas mangkatnya Sang Kaisar.
Sebagaimana
tradisi pada waktu itu, jenazah Kaisar tidak langsung dikebumikan,
melainkan disemayamkan selama beberapa minggu untuk memberi kesempatan
pada para pejabat istana dan rakyat untuk memberikan penghormatan
terakhir.
Alkisah,
setelah beberapa hari kemudian Kaisar Lie Sie Bien hidup kembali atau
bangkit kembali dari kematiannya. Dan kemudian beliau bercerita mengenai
perjalanan panjangnya menuju alam neraka, yang dialaminya selama saat
kematiannya.
Dimana
salah satu cerita beliau, adalah ketika beliau dalam perjalanan menuju
alam neraka, sang Kaisar bertemu dengan ayah bunda, dan sanak keluarga,
serta teman-temannya yang telah lama meninggal dunia. Dimana dikisahkan
bahwa kebanyakan dari mereka berada dalam keadaan menderita kelaparan,
kehausan, dan serba kekurangan walaupun dulu semasa hidupnya mereka
hidup senang dan mewah. Keadaan mereka sangat menyedihkan, walaupun saat
ini anak-anak dan keturunannya yang masih hidup berada dalam keadaan
senang dan bahagia.
Makhluk-makhluk
yang menderita ini berteriak memanggil Lie Sie Bien untuk minta
pertolongan dan bantuannya untuk mengurangi penderitaan mereka. Menurut
Kaisar mereka ini sangat mengharapkan bantuan dan pemberian dari
keturunan dan sanak-keluarganya yang masih hidup.
Lalu
sang Kaisar menghimbau dan menganjurkan agar keturunan dan sanak
keluarga yang masih hidup jangan sampai melupakan leluhur dan
keluarganya yang telah meninggal. Kita yang masih hidup wajib mengingat
dan memberikan bantuan kepada mereka yang menderita di alam sana,
sebagai balas budi kita kepada leluhur kita itu.
Untuk
itu keluarga yang masih hidup dianjurkan untuk mengirimkan bantuan
dana/uang kepada mereka yang berada di alam penderitaan itu. Dan dana
bantuan itu adalah salah satunya berupa "Rumah-rumahan" dan uang-uangan
untuk dibakar yang terbuat dari bambu-bambu (yang juga merupakan bahan
dasar pembuatan kertas saat itu). Rumah-rumahan ini yang kemudian
dibakar dan akan menjelma menjadi rumah beserta isinya di alam sana,
sehingga dapat dipergunakan oleh ayah bunda, leluhur, dan sanak keluarga
yang berada di alam sana untuk meringankan penderitaan mereka.
Karena
yang berkisah ini adalah seorang Kaisar yang sangat dihormati dan
dicintai segenap rakyatnya, maka tentu saja cerita ini dipercayai, dan
himbauan kaisar langsung mendapatkan tanggapan yang baik dari para
pejabat, bangsawan, dan seluruh rakyat kerajaan Tang.
Dengan
demikian maka masyarakat kota raja akan berbondong-bondong membeli
bambu untuk kebutuhan rumah-rumahan yang akan dibakar serta pembuatan
kertas kepada masyarakat luar kota raja yang hidup dalam kemiskinan.
Pesan Moral :
Dalam
persembahyangan dan melakukan pembakaran uang-uangan kertas awalnya
sebenarnya untuk membantu perekonomian masyarakat miskin dinasty Tang.
Namun saat ini sudah berubah menjadi area bisnis bagi kalangan pengusaha
yang sebenarnya tidak dapat disalahkan, hanya kita sebagai pelaku perlu
untuk memahami maksud yang sebenarnya sehingga tidak melakukan sesuatu
yang tidak dipahami dengan baik.
Apalagi
adanya salah kaprah pada jenis uang-uangan saat ini dengan menuliskan
Bank of Hell yang sebenarnya jauh dari maksud awal yang bermaksud untuk
menjadi mata uang alam baka dan bukan mata uang neraka seperti yang
terjadi saat ini.
Selain
itu, pembakaran juga mengingatkan kita dengan pilar-pilar budaya
Tionghoa untuk penghormatan terhadap leluhur. Selain itu,
persembahyangan merupakan waktu kebersamaan untuk berkumpul dan
bercerita mengenang pesan moral dan kebaikan leluhur untuk dijaga dan
diteruskan oleh kita sebagai keturunannya sebagai wujud nilai bakti
kepada leluhur.
Pembakaran
juga memiliki pesan moral tersirat untuk berbakti dan setia kepada
negeri kita tinggal karena dalam membakar kertas emas maupun perak
mengandung makna tanah melahirkan logam dan tanah itu adalah tempat
dimana kita berpijak, tempat kita lahir dan bertumbuh.
Semoga
dengan penulisan ini semua bisa benar-benar memahami apa yang
dilakukan. Karena maksud sebenarnya sangat baik dan memiliki nilai moral
yang tinggi, terkadang hanya karena ketidak tahuan maka bisa terjadi
penyimpangan yang tidak dipahami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar