Oleh: Ws. Darmadi Slamet B. Sc.
Wei Chou 魏犨 adalah salah satu pengikut setia yang menyertai Zhong Er 重耳, Pangeran Negeri Jin 晋, Jin Guo 晋國,
dalam pengungsian selama 19 tahun lamanya. Saat Zhong Er berhasil
kembali ke Negeri Jin dan naik tahta dengan gelar Jin Wen Gong 晋文公
(636 – 628 SM), kepada para pengikut setia dihadiahi gelar dan
kedudukan, termasuk pula Wei Chou diangkat sebagai jendral sekaligus
pembesar.
Saat Qin Huan Gong 秦桓公 memerintah tahun ke-11 (594 SM), ia mengutus Jendral Du Hui 杜回 memimpin
pasukan menyerang wilayah Negeri Jin. Penjaga tapal batas Negeri Jin
tidak berdaya menghadapi keperkasaan Jendral Du Hui, terutama pasukan
inti 300 orang yang bersenjatakan kapak gagang panjang, yang mampu
menebas setiap prajurit yang maju ke medan tempur, baik pasukan berkuda
maupun kereta perang, sehingga terpaksa mundur ke benteng pertahanan.
Jin Jing Gong 晋景公 (599 – 581 SM) pun mengutus Jendral 魏颗
Wei Ke, putra dari Wei Chou, sebagai jendral memimpin pasukan
menghadapi Jendral Du Hui. Saat pasukan kedua pihak saling berhadapan
dan masing-masing pasukan telah menyusun formasi, Jendral Wei Ke
dikejutkan oleh gaya tempur Jendral Du Hui yang tidak menggunakan kereta
maupun penungggang kuda, melainkan melangkah sambil mengayunkan kampak
gagang panjang, diikuti 300 orang serdadu pilihan yang juga
bersenjatakan kampak gagang panjang, yang mana ternyata sangat ampuh
membabat kaki kuda dan menghancurkan kereta perang, sehingga Jendral Wei
Ke pun kalah, dan terpaksa menarik mundur pasukan ke benteng
pertahanan.
Tiga hari kemudian, pasukan tambahan yang diutus oleh Jin Jing Gong telah tiba, dipimpin oleh Wei Ji 魏锜
yang tak lain adalah adik kandung Wei Ke sendiri. Dikatakan bahwa
keperkasaan Jendral Du Hui tidak dapat dilawan secara frontal. Wei Ji
tidak percaya dan ingin membuktikan sendiri. Maka ia pun memimpin
pasukan keluar benteng untuk menggempur Pasukan Du Hui yang mengurung
benteng. Ternyata pasukan musuh kocar-kacir lari memencar dan dikejar
oleh Tentara Jin yang dipimpin oleh Wei Ji. Ternyata ini hanya siasat
atau taktik menjebak musuh. Begitu tahu bahwa Pasukan Jin telah masuk
perangkap, maka muncullah pasukan inti sebagai pembabat bersenjatakan
kampak gagang panjang yang ternyata sangat ampuh menghancurkan Pasukan
Jin. Masih untung Wei Jin berhasil diselamatkan oleh pasukan penolong
yang dipimpin oleh kakaknya, Wei Ke.
Malam
harinya Jendral Wei Ke duduk merenung, memikirkan strategi yang tepat
untuk menghadapi musuh, ternyata amat sulit untuk mencari jalan keluar
menghadapi masalah yang rumit ini. Tak lama kemudian ia pun tertidur
karena kelelahan. Antara sadar dan tidak, sayup-sayup terdengar ada yang
membisikkan kata-kata Qing Cao Po 青草坡 (Lereng
rumput hijau). Jendral Wei Ke pun terbangun tanpa tahu arti maknanya.
Saat tertidur terdengar pula bisikan Qing Cao Po. Dengan perasaan heran
ia bertanya kepada penasehat militer. Ya mungkin inilah jawaban strategi
yang jitu, karena berjarak beberapa kilometer ada lereng yang disebut
Qing Cao Po. Dikatakan demikian karena disana banyak tumbuh rumput
diantara bebatuan.
Maka
disusunlah strategi dengan menempatkan pasukan yang dipimpin oleh
Jendral Wei Ji untuk menyergap musuh. Sedangkan Jendral Wei Ke memimpin
pasukan sebagai umpan mengitari Pasukan Qin dan pura-pura kalah
melarikan diri ke arah Qing Cao Po dan dikejar oleh Jendral Du Hui
beserta pasukan intinya. Ternyata begitu mendekati Qing Cao Po, Pasukan
Qin telah dihadang oleh Pasukan Jin. Jendral Du Hui dengan perkasa
mengayunkan kampak besar seberat 120 kaki, tetapi keanehan terjadi,
ayunan dahsyat ternyata meleset. Demikian pula 300 pasukan inti dengan
senjata kampak gagang panjang, semua jadi sempoyongan, jatuh bangun,
terpeleset, karena dasar pijakan bagaikan sangat licin dan penuh
bebatuan. Sebaliknya Pasukan Berkuda Jin merajalela menyerang musuh.
Jendral Wei Ke yang mengamati dari jauh nampak tercengang. Karena
diantara 2 pasukan yang bertempur, terdapat seorang tua yang menarik
rumput-rumput tersebut. Anehnya ia tidak terluka sedikitpun oleh ayunan
kapak Pasukan Inti Qin. Maka tak lama kemudian, Pasukan Qin dapat
dimusnahkan, yang tersisa hanya puluhan orang yang melarikan diri. Maka
Jendral Wei Ke pun memperoleh kemenangan dalam pertempuran yang sungguh
tidak dapat dimengerti. Ia pun membangun altar, melakukan doa sembayang
puji syukur atas rahmat Tuhan, serta ucapan terima kasih kepada arwah
yang membantunya.
Malam
hari ketika ia tertidur, Jendral Wei Ke memperoleh penglihatan, dimana
ia didatangi oleh seorang kakek yang datang memberi hormat dan
mengucapkan selamat. Jendral Wei Ke pun berkata, “Saya tidak kenal anda.
Ternyata andalah yang berjasa membantu saya. Bagaiman
cara saya membalas budi baik anda?” Orang tua itu pun tersenyum
menjawab, “Kedatangan saya ke dunia adalah membalas budi baik anda. Saya
adalah orang tua dari Zu Ji 祖姬. Anda telah
menjalankan pesan orang tua anda dengan benar. Menikahkan kembali putri
saya. Putri saya dalam setiap doanya menyebut nama dan kebaikan anda
setiap tahun saat Zhong Yuan Jie (bulan VII tanggal 15 Imlek). Putri
saya selalu meyampaikan sesajian dan sembahyang kepada leluhur. Semua
ini berkat budi luhur dan tindakan bijaksana yang telah anda lakukan”.
Arwah dan manusia pada hakekatnya adalah berbeda alam, jadi tidaklah
mudah bertemu. Hanya saja terdorong rasa ingin balas budi, kebetulan
berkesempatan datang ke dunia, dan mengetahui Jendral Wei Ke dalam
kesulitan dan keselamatannya terancam, jadi berkesempatan membantu guna
membalas budi.
Jendral
Wei Ke pun terbangun dari tidur dan kaget. Teringatlah kejadian belasan
tahun yang lampau. Saat itu ayahnya, Jendral Wei Chou, memiliki seorang
selir yang cantik dan belia. Setiap kali Jendral Wei Chou berangkat
menuju medan perang selalu berpesan kepada anaknya, Wei Ke, “Kalau saya
gugur di medan tempur, tolong lakukan tugas dari saya, yaitu segera
carikan suami yang baik dan nikahkan Selir Zu Ji. Ia
masih muda, jangan sampai menjanda dan hidup menderita. Jadi saya pun
dapat tenang di alam baka”. Akan tetapi sebelum meninggal karena sakit,
Jendral Wei Chou saat menjelang ajal berkata lain, “Zu Ji sangat cantik
dan amat kusayangi. Kalau saya meninggal, harap dijadikan tumbal,
makamkan bersama saya, agar ada yang menemani saya di alam baka”.
Saat
orang tuanya meninggal, Wei Ke melakukan upacara pemakaman sesuai tata
ibadah agama tanpa menyertakan Zu Ji sebagai korban hidup-hidup. Dalam
pemakaman, adiknya, Wei Ji, bertanya, “Mengapa tidak melaksanakan pesan
mendiang ayahanda?” Wei Ke
menjawab, “Seorang anak yang berbakti wajib melaksanakan pesan mendiang
ayahnya. Pesan ayah adalah menikahkan Zu Ji. Pesan tersebut diucapkan
ayah kita berulang kali bila berangkat menuju medan perang. Sedangkan
saat menjelang meninggal, pikiran kalut dan tanpa kesadaran menyampaikan
pesan yang kacau. Tentu kita wajib menjalankan pesan amanat yang
benar”. Maka Jendral Wei Ke pun memilih seorang pejabat untuk menikahi
selir ayahnya, sehingga dapat hidup bahagia.
Atas
perbuatan berbudi luhur tersebut, arwah orang tua Zu Ji berkenan
membalas budi, dan Raja Muda Jin Jing Gong pun menghargai jasa Jendral
Wei Ke dengan memberikan tanah di Daerah Ling Hu 令狐 dan dibuatkan genta guna mengenang jasa Jenderal Wei Ke. Oleh penduduk sekitar Ling Hu, genta tersebut diberi nama Jing Zhong 景钟, yang artinya Genta Jing.
Sumber : http://khongcubio.blogspot.com/
Sumber : http://khongcubio.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar