Suatu
kali, seseorang pernah menjelaskan padaku tentang filosofi lima jari.
Kata beliau, tiap-tiap jari pada tangan kita merupakan
perlambang sesuatu. Aku tercenung khusyuk mendengarkan, lalu dia bertutur.
perlambang sesuatu. Aku tercenung khusyuk mendengarkan, lalu dia bertutur.
Ibu
jari, kata beliau, merupakan perlambang penguasa. Ibu jari adalah jari
yang mengumpulkan semua keunggulan empat jari yang lain, dan
mengontrolnya untuk dapat melakukan sesuatu, mensinergikan semua
kekuatan empat jari yang lain, dan meledakkannya pada momentum yang
tepat. “Cobalah kau genggam palu dengan empat jarimu selain ibu jari”
kata beliau padaku, “dan ayunkan palu itu sekuat tenaga, hampir pasti
palu itu terbang entah kemana”. Itu cerita beliau tentang ibu jari, jari
paling besar yang mengontrol empat jari lainnya.
Telunjuk,
kata beliau lagi, adalah perlambang orang kaya, itulah kenapa kita
terbiasa menunjuk-nunjuk sesuatu, atau memerintahkan seseorang melakukan
sesuatu dengan telunjuk, persis seperti orang kaya yang kelakuannya mau
apa-apa tinggal tunjuk. Aku tersenyum sedikit, kupikir bisa jadi juga
begitu, lalu kudengarkan dia meneruskan.
Jari
Tengah, ujarnya bijak, adalah perlambang seorang yg beriman (orang yang
berilmu), jari tengah merupakan jari yang paling tinggi diantara kelima
jari, akan tetapi setiap kali kita akan makan menggunakan tangan, atau
mengambil suatu barang, secara anatomis jari tengah akan menarik diri
menjadi sejajar dengan empat jari lainnya. Itulah perlambang kebijakan
jari tengah.
Aku
tersenyum simpul, sambil curi-curi kupraktekkan mengambil kerikil di
dekat kakiku dan itu dia si jari tengah mensejajarkan diri dengan yang
lain.
Jari
Manis, ujarnya lagi, ini adalah perlambang pemuda, pemuda selalu manis
untuk dipandang, entah karna kepintarannya, luas pengetahuannya, anggun
rupanya, atau karna hal-hal lain, kau tahu, katanya, itulah kenapa kita
pasang cincin di jari manis kita, itu perlambang keindahan pemuda!!
Tak
sabar aku menanti yang terakhir, sambil tersenyum aku mendengarkan dia
berkata merdu, Jari Kelingking, tak lain tak bukan adalah perlambang
wanita, katanya. Kelingking jari terlemah diantara semuanya.
Aku mengangguk takzim, tapi lalu tersenyum nakal “bukankah tidak selamanya perempuan itu lemah?”
Kau
benar, kata beliau, itulah kenapa permainan “suit” kita memenangkan
kelingking dari ibu jari, penguasa saja bisa bertekuk lutut dengan
wanita, kata beliau. Benar juga ya, pikirku, sesaat sebelum dia
membuyarkan lamunanku dan berkata, kelingking kalah dengan telunjuk
seperti wanita dengan harta.
Sumber : http://www.meandconfucius.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar