Di
sebuah ruang kuliah, seorang profesor kedokteran memberikan kuliah
perdananya. Para mahasiswa baru itu tampak serius. Mata mereka terpaku
menatap profesor, seraya tangan
sibuk mencatat.
sibuk mencatat.
“Menjadi
dokter, butuh keberanian dan ketelitian,” terdengar suara sang
profesor. “Dan saya harap kalian dapat membuktikannya.” Bapak itu
beranjak ke samping. “Saya punya setoples cairan limpa manusia yang
telah direndam selama 3 bulan.” Profesor itu mencelupkan jari ke dalam
toples, dan memasukkan jari itu ke mulutnya. Terdengar teriak-teriak
kecil dari mahasiswa itu. Mereka terlihat jijik. “Itulah yang kusebut
dengan keberanian dan ketelitian,” ucap profesor lebih meyakinkan.
“Saya
butuh satu orang yang bisa berbuat seperti saya. Buktikan bahwa kalian
ingin menjadi dokter.” Suasana aula mendadak senyap. Mereka bingung:
antara jijik dan tantangan sebagai calon dokter. Tak ada yang mengangkat
tangan. Sang profesor berkata lagi, “Tak adakah yang bisa membuktikan
kepada saya? Mana keberanian dan ketelitian kalian?
Tiba-tiba,
seorang anak muda mengangkat tangan. “Ah, akhirnya ada juga yang
berani. Tunjukkan pada teman-temanmu bahwa kau punya keberanian dan
ketelitian. Anak muda itu menuruni tangga, menuju mimbar tempat sang
professor berada. Dihampirinya stoples itu dengan ragu-ragu. Wajahnya
tegang, dan perasaan jijik terlihat dari air mukanya.
Ia
mulai memasukkan jarinya ke dalam toples. Kepala menoleh ke samping
dengan mata yang menutup. Teriakan kecil rasa jijik kembali terdengar.
Perlahan, dimasukkannya jari yang telah tercelup lendir itu ke mulutnya.
Banyak orang yang menutup mata, banyak pula yang berlari menuju kamar
kecil. Sang professor tersenyum. Anak muda itu tersenyum kecut, sambil
meludah-ludah ke samping.
“Aha,
kamu telah membuktikan satu hal, anak muda. Seorang calon dokter memang
harus berani. Tapi sayang, dokter juga butuh ketelitian.” Profesor itu
menepuk punggung si mahasiswa. “Tidakkah kau lihat, aku tadi memasukkan
telunjuk ke toples, tapi jari tengah yang masuk ke mulut. Seorang dokter
memang butuh keberanian, tapi lebih butuh lagi ketelitian.”
***
Tantangan
hidup, kadangkala bukan untuk menghadapi kematian. Tapi, justru
bagaimana menjalani kehidupan. Banyak orang yang takut mati. Tapi, tidak
sedikit yang memilih mati ketimbang hidup. Banyak yang menghabisi hidup
pada jalan-jalan tercela. Banyak pula yang enggan hidup hanya karena
beratnya beban kehidupan.
Ujaran
profesor itu memang benar. Tantangan menjadi seorang dokter-dan
sesungguhnya, menjadi manusia-adalah dibutuhkannya keberanian dan
ketelitian.
Bahkan,
tantangan itu lebih dari sekadar mencicipi rasa cairan limpa di toples.
Lebih berat. Jauh lebih berat. Dalam kehidupan, apa yang kita alami
kadang lebih pahit dan menegangkan. Namun, bagi yang teliti, semua bisa
jadi manis, menjadi tantangan yang mengasyikkan. Di sanalah ditemukan
semua rasa, rupa dan suasana yang mendidik. Dan mereka dapat dengan
teliti memilah dan memilih.
Hati-hatilah.
Hidup memang butuh keberanian. Tapi, akan lebih butuh ketelitian.
Cermati langkahmu, waspadai tindakanmu. Hati-hati saat “mencelupkan
jari” dalam toples kehidupan. Kalau tidak, “rasa pahit” yang akan kita
temukan.
Sumber : http://www.meandconfucius.com/
Sumber : http://www.meandconfucius.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar