Hari
Raya Twan Yang ialah hari suci bersujud ke hadirat Tian Yang Maha Esa
yang telah dilakukan umat Khonghucu atau Ru Jiao sejak jaman purbakala.
Disini kita lebih mengenalnya dengan nama perayaan Go Gwee Chee Go atau
Hari Raya tanggal 5 bulan V Khongcu Lik.
Twan artinya lurus, terkemuka, terang, yang menjadi pokok atau sumber, dan Yang
artinya
sifat positif atau matahari, jadi Twan Yang ialah saat matahari memancarkan Cahaya paling keras. Hari Raya ini dinamai pula Twan Ngo. Ngo artinya saat antara jam 11.00 s/d 13.00 siang, jadi perayaan ini tepatnya ialah pada saat tengah hari. Pada saat-saat demikian pada hari Twan Yang, matahari benar-benar melambangkan curahnya rakhmat Tuhan. Cahaya matahari ialah sumber kehidupan, lambang rakhmat dan kemurahan Tian atas manusia dan segenap makhluk dunia.
sifat positif atau matahari, jadi Twan Yang ialah saat matahari memancarkan Cahaya paling keras. Hari Raya ini dinamai pula Twan Ngo. Ngo artinya saat antara jam 11.00 s/d 13.00 siang, jadi perayaan ini tepatnya ialah pada saat tengah hari. Pada saat-saat demikian pada hari Twan Yang, matahari benar-benar melambangkan curahnya rakhmat Tuhan. Cahaya matahari ialah sumber kehidupan, lambang rakhmat dan kemurahan Tian atas manusia dan segenap makhluk dunia.
Maka
saat Twan Yang ialah saat untuk kita bersuci, bermandi, bersujud
menyampaikan sembah dan syukur kepada-Nya. Pada saat Twan Yang kita
rasakan sebagai saat paling besar Tian melimpahkan rakhmat karunia-Nya,
khususnya pada saat Ngo, saat tengah hari. Oleh karena itu timbul
kepercayaan pada saat Twan Ngo segala makhluk dan benda mendapat curahan
karunia kekuatan paling besar. Orang-orang percaya bahwa rumusan
obat-obatan yang dipetik pada saat itu akan besar khasiatnya. Karena
letak matahari tegak lurus, orang percaya telur ayam pun bila ditegakkan
saat itu akan dapat berdiri tegak lurus. Hari raya ini disebut pula
dengan nama pek Cun yang artinya merengkuh Dayung atau Beratus Perahu.
Dinamai demikian karena pada hari itu sering diadakan perlombaan dengan
banyak perahu. Tentang perlombaan dengan perahu di sungai-sungai itu
dikaitkan dengan suatu peristiwa pada hari Twan Yang ada jaman Cian Kok
(jaman setelah wafat Nabi Kong Zi) di negeri Cho yang kisahnya sebagai
berikut :
Dinasti
Ciu pada jaman Cian Kok atau jaman Peperangan (403 seb.M – 231 seb.M)
sudah tidak berarti lagi sebagai negara pusat, pada jaman itu ada tujuh
negara besar, ketujuh negeri itu ialah negeri Cee, Yan, Han, Thio, Gwi
dan Chien. Negeri Chien ialah negeri yang paling kuat dan agresif, maka
enam negeri yang lain itu sering bersekutu untuk bersama-sama menghadapi
negeri Chien.
Khut
Gwan ialah seorang menteri besar dan setia dari negeri Cho, beliau
seorang tokoh yang paling berhasil menyatukan keenam negeri itu untuk
menghadapi negeri Chien. Karena itu orang-orang negeri Chien
terus-menerus berusaha menjatuhkan nama baik Khut Gwan, terutama
berhadapan raja negeri Cho, Cho Hwai Ong. Di negeri Cho ternyata banyak
pula menteri-menteri yang tidak setia seperti Kongcu Lan, Siangkwan
Taihu, Khien Siang dan lain-lain. Dengan bantuan orang-orang itu, Tio
Gi, seorang menteri negeri Chien yang cerdik dan licin berhasil
meretakkan hubungan Khut Gwan dengan raja negeri Cho.
Khut
Gwan dipecat dan berantakanlah persatuan ke enam negei itu. Cho Hwai
Ong bahkan terbujuk oleh janji-janji yang menyenangkan, mau datang ke
negeri Chien. Di sana ia ditawan dan menyesali perbuatannya sampai
mangkatnya. Raja negeri Cho yang baru, Cho Cing Siang Ong, kini kembali
memberikan kepercayaan kepada Khut Gwan. Ke enam negeri dapa
dipersatukan kembali sekalipun tidak sekokoh dahulu. Pada tahun 293 SM
negeri Han dan Gwi yang melawan negeri Chien dihancurkan dan dibinasakan
240.000 orang, oleh peristiwa ini Khut Gwan kembali difitnah akan
membawa negeri Cho mengalami nasib seperti negeri Han dan Gwi. Cho Cing
Siang Ong ternyata lebih buruk kebijaksanaannya daripada raja yang
marhum, ia tidak saja memecat Khut Gwan, bahkan kepadanya dijatuhi
hukuman buang ke daerah danau Tong Ting, dekat sungai Bik Loo.
Ditempat
pembuangan ini Khut Gwan hampir-hampir tidak tahan hanya bekat
kebijaksanaan kakak perempuannya yang Khut Su, beliau dapat
ditenteramkan dan rela menerima keadaannya itu. Meski demikian beliau
tidak selalu dapat serasi, maklum beliau seorang bangsawan negeri Cho
sehingga tidak dapat melupakan tanggung jawab kepada negara dan
leluhurnya, karena itu Khut Gwan sering merasa kesepian dan timbul
kejemuan akan suasana kehidupannya.
Dalam
saat demikian itu, beliau beroleh kenalan seorang nelayan, yang
ternyata seorang pandai yang menyembunyikan diri. Orang itu
menyembunyikan nama aslinya, hanya menyebut dirinya Gi Hu (Bapak
Nelayan). Dengan Gi Hu ini Khut Gwan mendapatkan kawan bercakap meski
pandangan hidupnya tak sejalan. Gi Hu berprinsip meninggalkan hidup
bermasyarakat yang buruk keadaannya, sedang Khut Gwan biarpun tidak mau
tercemar oleh keserakahan dan kekotoran dunia tetapi tetap berharap
dapat mengembangkan kembali Jalan Suci Nabi bagi kesejahteraan dan
kebahagiaan rakyat. Demikianlah Khut Gwan sangat akrab dengan nelayan
itu. Ketentraman Khut Gwan itu ternyata dihancurkan oleh berita hancur
binasanya ibu kota negeri Cho, tempat bio leluhurnya itu, yang diserbu
orang negeri Chien.
Hal
ini menjadikan Khut Gwan yang telah lanjut usia itu merasa tiada arti
bagi hidup pribadinya. Setelah dirundung kebimbangan dan kesedihan,
beliau memutuskan menjadikan dirinya yang telah tua itu biarlah menjadi
tugu peringatan bagi rakyatnya akan peristiwa yang sangat menyedihkan
atas tanah air dan negerinya itu, semoga bangkit semangat rakyatnya
menegakkan kebenaran dan mencuci bersih aib yang menimpa negerinya.
Ketika itu kebetulan ialah saat hari suci Twan Yang, beliau mendayung
perahunya ke tengah-tengah sungai Bik Loo, dinyanyikan sanjak-sanjak
ciptaannya yang telah dikenal rakyat sekitarnya, yang mencurahkan rasa
cinta tanah air dn rakyatnya. Rakyat banyak tertegun mendengar semuanya
itu. Pada saat itu beliau sampai ke tempat yang jauh dari kerumunan
orang, beliau menerjunkan diri ke dalam sungai yang deras aliran dan
dalam itu. Beberapa orang yang mengetahuinya segera berusaha
menolongnya, tetapi hasilnya nihil, jenazahnyapun tidak diketemukan.
Seharian Gi Hu, nelayan kawan Khut Gwan itu, dengan perahu-perahu kecil
mengerahkan kawan-kawannya mencari, hasilnya sia-sia belaka.
Pada
tahun ke dua saat Twan Yang, ketika kembali orang merayakan hari suci
Twan Yang, Gi Hu ialah membawa sebuah tempurung bambu berisi beras
dituangkan ke dalam sungai untuk mengenang kembali dan menghormati Khut
Gwan. Banyak orang lalu mengikuti jejak Gi Hu itu. Demikianlah kematian
Khut Gwan tidak sia-sia, telah mampu menggerakkan hati rakyat kepada
cita yang luhur, bahkan telah mengubah sikap Gi Hu yang telah
mengingkari duniawi itu. Inilah kemenangan pengorbanan Khut Gwan.
Bakcang |
Pada
tahun-tahun berikutnya, kebiasaan mempersembahkan beras di dalam
tempurung bambu iu diganti dengan kue dari beras ketan yang dibungkus
daun bambu, yang disini kita kenal dengan nama bak cang dan kue cang.
Diadakan perlombaan-perlombaan perahu yang dihiasi gambar-gambar naga
(liong cun), semuanya mengingatkan usaha mencari jenazah Khut Gwan
pecinta tanah air, setiawan dan pecinta rakyat it. Di dalam dirinya
tercermin jiwa besar dan suci, yang satya kepada Firman Tian,
menggemilangkan kebajikan dan mengasihi sesama manusia. Demikianlah tiap
hari raya Twan Yang selalu diadakan pula peringatan untuk Khut Gwan,
seorang yang berjiwa mulia dan luhur, berjiwa kuncu dari negeri Cho itu.
sumber : http://meandconfucius.com/
sumber : http://meandconfucius.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar