“Aku capek, sangat capek. Aku belajar mati matian sedang temanku dengan enaknya menyontek. Aku mau menyontek saja! Aku capek karena aku harus terus membantu ibu, sedang temanku punya pembantu. Aku capek karena aku harus menabung, sedang temanku bisa terus jajan tanpa harus menabung. Aku capek karena harus menjaga lidahku, sedang temanku enak saja berbicara sampai aku sakit hati.
Aku capek ayah,
aku capek menahan diri. Mereka terlihat senang, aku ingin bersikap
seperti mereka ayah!” sang anak mulai menangis.
Sang ayah hanya tersenyum dan mengelus kepala anaknya, ”Anakku, ayo ikut ayah”.
Mereka menyusuri jalan yang jelek, banyak duri, serangga, lumpur, dan ilalang.
”Ayah, mau kemana
kita? Aku tidak suka jalan ini. Lihat sepatuku jadi kotor, kakiku luka
karena tertusuk duri. Badanku dikelilingi oleh serangga, berjalanpun
susah karena banyak ilalang… aku benci jalan ini ayah,” anaknya terus
mengeluh.
Akhirnya
mereka sampai di sebuah telaga yang sangat indah, airnya sangat segar,
ada banyak kupu kupu, bunga bunga yang cantik, dan pepohonan rindang.
“Kemarilah anakku, ayo duduk di samping ayah”.
”Anakku, taukah kau mengapa di sini begitu sepi padahal amat indah?”
”Itu karena orang
tidak mau mnyusuri jalan yang jelek, padahal mreka tau ada telaga di
sini. Mereka hanya kurang sabar dalam menyusuri jalan ini.
”Anakku,
kita butuh kesabaran dalam belajar, butuh kesabaran dalam bersikap
baik, butuh kesabaran dalam kujujuran, butuh kesabaran dalam setiap
kebaikan agar kita mendapat kemenangan.”
sumber : http://meandconfucius.com
sumber : http://meandconfucius.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar