Tradisi
ini berasal dari tradisi kerajaan di zaman dulu. Ceng Beng (baca : Qing
Ming = cerah dan cemerlang) dipilih karena 15 hari setelah Chunhun,
biasanya dipercayai merupakan hari yang baik, cerah, terkadang diiringi
hujan gerimis dan cocok untuk melaksanakan ziarah makam. Sebelum zaman
Dinasti Qin, ziarah makam hanya
monopoli dan hak para bangsawan. Namun setelah Qin Shi-huang mempersatukan Tiongkok dan mengabolisi para bangsawan, rakyat kecil kemudian meniru tradisi ziarah makam ini setiap Ceng Beng.
monopoli dan hak para bangsawan. Namun setelah Qin Shi-huang mempersatukan Tiongkok dan mengabolisi para bangsawan, rakyat kecil kemudian meniru tradisi ziarah makam ini setiap Ceng Beng.
Sebuah
legenda asal mula Ceng Beng menceritakan tentang kaum Cina yang memang
punya tradisi yang sedikit banyak tertuju pada peringatan leluhur
(sebutannya “kia hao” atau “filial piety”, alias “rasa hormat anak pada
orang tua/leluhurnya”) . Makanya di rumah-rumah Cina banyak ditemukan
rumah abu atau meja sembahyang leluhur. Karena itulah, nyekar juga
menjadi satu kegiatan wajib.
Legenda 1
Hari
*Ceng Beng* bermuasal dari zaman *Chun Qiu Zhan Guo *(Musim semi-gugur
dan negara saling berperang, abad 11-3 SM), adalah salah satu hari
perayaan tradisional suku Han (suku mayoritas di Tiongkok), sebagai
salah satu dari 24 *Jie Qi *(sistem kalender Tiongkok), waktunya jatuh
antara sebelum dan sesudah 5 April Masehi.
Sesudah
hari *Ceng Beng*, di Tiongkok semakin banyak hujan, bumi dipenuhi
dengan panorama kecemerlangan musim semi. Pada saat itu semua makhluk
hidup "melepaskan yang lama dan memperoleh yang baru", tak peduli apakah
itu tanaman di dalam bumi raya, atau tubuh manusia yang hidup
berdampingan secara alamiah, semuanya pada saat itu menukar pencemaran
yang diperoleh pada musim dingin/salju untuk menyambut suasana musim
semi dan merealisasi perubahan dari *Yin *(unsur negatif) ke *Yang*
(unsur positif).
Konon,
sesudah Yu agung (Raja pada zaman Tiongkok kuno, abad ke-22 SM)
menaklukkan sungai, maka orang-orang menggunakan kosa kata *Qing Ming
*(di Indonesia terkenal dengan *Ceng Beng*) untuk merayakan bencana air
bah yang telah berhasil dijinakkan dan kondisi negara yang aman
tenteram.
Pada
saat itu musim semi nan hangat bunga bermekaran, seluruh makhluk hidup
bangkit, langit cerah bumi cemerlang, adalah musim yang baik untuk
berkelana menginjak rerumputan (Ta Qing). Kebiasaan tersebut telah
dimulai sejak dinasti Tang (618-907).
Saat
*Ta Qing*, orang-orang selain dapat menikmati panorama indah musim
semi, juga sering dilangsungkan beraneka kegiatan hiburan untuk menambah
gairah kehidupan.
Legenda 2
Konon,
jaman dahulu, terutama bagi orang-orang yang berduit dan berharta,
nyekar itu tidak hanya diadakan sekali setahun, tapi bisa berkali-kali
(dua kali sebulan bahkan). Dan acara ini dibuat penuh dengan kemewahan
dan benar-benar mempertontonkan kekayaan. Kaum sanak keluarga ditandu ke
sana lalu ke mari, diiringi dayang-dayang dan pengawal yang berjumlah
banyak, makanan yang dibawa itu pasti yang enak-enak dan bunga yang
disiapkan juga yang mahal dan harum-harum.
Suatu
hari, Kaisar Tang Xuanzong melihat semuanya ini seperti pemborosan
massal saja. Dia pun menitahkan agar semua membatasi diri dan hanya
mengadakan acara nyekar ini sekali setahun. Dan ia menetapkan hari Ceng
Beng (lima belas hari setelah Chunhun, atau hari di mana matahari tiba
di katulistiwa) sebagai hari baik untuk ini. Selain karena Ceng Beng
adalah hari baik (arti kata Ceng Beng, atau Qing Ming, adalah “cerah dan terang”),
hari ini dipilih karena banyak petani sudah selesai panen dan punya
waktu senggang untuk mengunjungi makam leluhur. Jadilah Ceng Beng bukan
hanya kegiatan orang kaya, tapi kegiatan untuk semua orang.
Legenda 3
Kesederhanaan
Ceng Beng juga berkaitan erat dengan cerita Kaisar Cong Er dari Dinasti
Tang. Seperti kisah Cina kuno lainnya, latar belakangnya adalah kudeta.
Pada masa pelarian (karena berselisih dengan selir kejam) ketika masih
jadi putra mahkota Cong Er ini ditemani oleh teman (dan bawahan) yang
sangat setia, Jie Zhitui namanya. Saking setianya, dia rela untuk
mengorbankan dagingnya supaya si pangeran ini bisa makan dan nggak mati
kelaparan. Suatu hari, tiba kabar bahwa Cong Er sudah tidak perlu lari
lagi, karena ibu tirinya sudah mati. Bersiaplah Cong Er untuk kembali ke
istana dan jadi kaisar. Tapi Je Zhitui menolak untuk ikut balik ke
istana, dan menyepi ke sebuah gunung bersama Ibunya.
Cong
Er yang sudah jadi kaisar itu tetep kukuh meminta temannya balik dan
hidup bahagia di istana. tapi Jie Zhitui bukannya balik ke istana malah
semakin bersembunyi ke pedalaman gunung. Cong Er yang sudah habis akal
menyuruh prajuritnya untuk membakar gunung, dengan maksud supaya Jie
Zhitui keluar dari persembunyian. Tetapi, yang terjadi bukannya keluar,
malah Jie Zhitui dan Ibunya tewas terbakar.
Sedihlah
sang kaisar. Lalu ia mencanangkan Hari Hanshi (Hari Makanan Dingin),
satu hari dalam setahun (setiap tahunnya) di mana orang-orang tidak
boleh memasak/memanaskan makanan dengan api. Lambat laun Hanshi pun
diintegrasikan ke dalam perayaan Ceng Beng, di mana makanan yang
disediakan itu dingin dan hambar.
Legenda 4
Cerita
legenda yang lain menyebutkan tentang seorang Raja yang sudah
bertahun-tahun pergi berperang (jaman perang antar kerajaan di Cina
dulu), namun berakhir dengan kekalahan dan menjadi tawanan perang yang
tidak terhormat di negeri lawan. Tapi raja ini tidak tinggal diam dan
diam-diam mengumpulkan sekutu untuk mempersiapkan serangan balas dendam.
Singkat cerita raja ini berhasil melakukan balas dendam dan negaranya
pun kembali ke dalam tangannya.
Sewaktu
ia kembali ke rumah, dia baru tahu kalau orang tuanya sudah lama
meninggal — dibunuh oleh raja musuh. Dan parahnya lagi tidak ada yang
tau di mana orang tua sang raja dimakamkan. Sang Raja akhirnya punya
akal dan mencanangkan hari kunjungan makam leluhur. Pada hari yang telah
ditentukan, semua orang di negaranya harus dan wajib nyekar. Logikanya,
makam yang sepi dan nelangsa, pastilah makam orang tuanya. Sejak hari
itulah, setiap tahun semua wajib nyekar ke makam leluhur.
Secara
Awam, masih banyak yang belum jelas bahwa sebenarnya mengapa Ceng Beng
itu selalu jatuh pada 5 April setiap tahunnya, dan bukannya mengikuti
penanggalan kalender Imlek. Dalam tradisi Tionghoa, ada 2 penanggalan
yang menggunakan penanggalan masehi. Yakni Ceng Beng dan Tang
Che/Festival musim dingin.
Kelihatannya,
kalender Tionghoa itu kalender bulan, tidak begitu halnya, karena ada
faktor peredaran matahari di dalamnya, yaitu 24 posisi matahari. 1
posisi matahari adalah berjangka waktu 15 hari, ada 2 posisi matahari
dalam 1 bulan. Posisi ini telah ada sejak zaman Huangdi (2697 SM, 4700
tahun lalu) didasarkan atas 12 cabang bumi yang diciptakan olehnya.
Penanggalan
Tionghoa sendiri memperhitungkan peredaran matahari karena Tiongkok
sejak dulu adalah negara agrikultur, mayoritas penduduk Tiongkok adalah
petani dan petani harus menanam sesuai musim. Musim bergantung pada
peredaran matahari, sehingga posisi matahari ditambahkan dalam kalender
Tionghoa.
Adapun posisi penting peredaran matahari dalam kelender Tionghoa adalah :
1. Lipchun (mulai musim semi), tanggal 5 Februari
2. Chunhun (tengah musim semi), tanggal 21 Maret (matahari berada di khatulistiwa)
3. Ceng Beng (cerah dan terang), tanggal 5 April
4.
Heche (tengah musim panas), tanggal 21 Juni (saat ini matahari berada
pada 23.5 LU, siang terpanjang di belahan bumi utara/Tiongkok)
5. Chiuhun (tengah musim gugur), tanggal 23 September (matahari berada di khatulistiwa)
6
Tangche (tengah musim dingin), tanggal 22 Desember (saat ini matahari
berada di 23.5 LS, malam terpanjang di belahan bumi utara/Tiongkok).
Dari 24 posisi matahari ini, maka Ceng Beng dan Tangche dijadikan festival penting dalam kebudayaan Tionghoa.
Kegiatan yang dilakukan berkaitan dengan Ceng Beng
Pada
jaman dinasti Tang, implementasi hari Ceng Beng hampir sama dengan
kegiatan sekarang, misalnya seperti membakar uang-uangan, menggantung
lembaran kertas pada pohon Liu, sembayang dan membersihkan kuburan. Yang
hilang pada saat ini adalah menggantung lembaran kertas, yang sebagai
gantinya lembaran kertas itu ditaruh di atas kuburan.
Kebiasaan
lainnya adalah bermain layang-layang, makan telur, melukis telur dan
mengukir kulit telur. Permainan layang-layang dilakukan pada saat Ceng
Beng karena selain cuaca yang cerah dan langit yang terang,kondisi angin
sangat ideal untuk bermain layang-layang.
Konon,
ada orang setelah layang-layang berkibar di langit biru, memutus
talinya, mengandalkan angin mengantarnya ke tempat nan jauh, konon ini
bisa menghapus penyakit dan melenyapkan bencana serta mendatangkan nasib
baik bagi diri sendiri.
Kebiasaan
berikutnya adalah menancapkan pohon *Willow*: konon, kebiasaan
menancapkan dahan *willow*(pohon Yangliu), juga demi memperingati *Shen
Nong Shi*, yang dianggap sebagai guru leluhur pertanian dan pengobatan.
Di sebagian tempat, orang-orang menancapkan dahan* willow *di bawah
teritisan rumah, untuk meramalkan cuaca. Sesuai pameo kuno "Kalau dahan
*willow* hijau, hujan rintik-rintik; kalau dahan *willow* kering, cuaca
cerah". *Willow* memiliki daya hidup sangat kuat, dahannya cukup
ditancapkan langsung hidup, setiap tahun menancapkan dahan willow,
dimana-mana rimbun.
Sedangkan sejarah pohon Liu dihubungkan dengan Jie Zitui, karena Jie Zitui tewas terbakar di bawah pohon liu.
Kebiasaan
lain adalah bermain ayunan *Qiu Qian*: ini adalah adat kebiasaan hari
*Ceng Beng* zaman kuno. Sejarahnya panjang, ayunan pada zaman dulu
kebanyakan menggunakan dahan sebagai rangka kemudian ditambatkan
selendang atau tali.
Akhir-nya
berkembang menjadi 2 utas tali ditambah papan kayu sebagai pijakan kaki
yang dipasang pada rangka balok kayu yang hingga kini digemari,
terutama oleh anak-anak seluruh dunia.
Selain
itu ada kebiasaan bermain *Cu Ju* (sepak bola kuno): *Ju* adalah
semacam bola yang terbuat dari kulit, di dalam bola tersebut diisi bulu
hingga padat. *Cu Ju *menggunakan kaki untuk menyepak bola (Mirip sepak
bola saat ini). Ini adalah semacam permainan yang digemari oleh
orang-orang pada saat *Ceng Beng *pada zaman kuno. Konon ditemukan oleh
*Huang Di *(kaisar Kuning), pada awalnya bertujuan untuk melatih
kebugaran para serdadu.
Ada
juga kebiasaan untuk Menanam pohon: sebelum dan sesudah *Ceng Beng*,
matahari musim semi menyinari, hujan rintik musim semi betebaran,
menanam tunas pohon berpeluang hidup tinggi dan dapat tumbuh dengan
cepat. Maka, semenjak zaman kuno, di Tiongkok terdapat kebiasaan menanam
pohon di kala *Ceng Beng*. Ada orang menyebut hari *Ceng Beng* sebagai
"hari raya penanaman pohon". Kebiasaan ini berlangsung hingga hari ini.
Pada
dinasti Song (960-1279) dimulai kebiasaan menggantungkan gambar burung
walet yang terbuat tepung dan buah pohon liu di depan pintu. Gambar ini
disebut burung walet Zitui. Kebiasaan orang-orang Tionghoa yang menaruh
untaian kertas panjang di kuburan dan menaruh kertas di atas batu nisan
itu dimulai sejak dinasti Ming.
Menurut
cerita rakyat yang beredar, kebiasaan seperti itu atas suruhan Zhu
Yuanzhang, kaisar pendiri dinasti Ming,untuk mencari kuburan ayahnya.
Dikarenakan tidak tahu letaknya, ia menyuruh seluruh rakyat untuk
menaruh kertas di batu nisan leluhurnya. Rakyat pun mematuhi perintah
tersebut, lalu ia mencari kuburan ayahnya yang batu nisannya tidak ada
kertas dan ia menemukannya. (Dalam kisah ini agak berkaitan dengan
Legenda 4 diatas. Namun karena ditemukan pada literatur yang berbeda,
penyusun tidak berani mengambil kesimpulan sendiri. Mohon bagi yang
lebih paham ceritanya memberikan masukan).
Seperti
perayaan lainnya, Ceng Ceng juga memiliki makanan khas seperti makan
telur yang kulitnya sudah dilukis, tapi untuk telur yang diukir tidak
dimakan. Selain itu ada beberapa yang mungkin tidak pernah ada di
Indonesia ini seperti makanan dari daun Ai yang menjadi ciri khas suku
Khe, bubur dingin, ciri khas rakyat dibawah kaki gunung Mian, serta Qing
tuan adalah makanan khas Qingming dari daerah Suzhou.
Pesan Moral Perayaan Ceng Beng :
Festival Ceng Beng pada akhirnya terkait dengan pilar-pilar budaya Tionghoa yaitu penghormatan leluhur, makanan, kekerabatan, keselarasan dan harmony, setia, berbakti, dan juga kebersamaan. Dan hal itu tidak hanya ada pada festival Ceng Beng saja tapi tercermin pada semua festival Tionghoa yang ada.
Dengan menghormati leluhur berarti kita harus menjaga sikap hidup kita agar tidak
mencoreng nama leluhur. Semoga pada perayaan festival Ceng Beng ini
kita menyadari bagaimana cara kita menghormati leluhur, caranya
sederhana yaitu berikanlah kontribusi positif pada lingkungan kita dan
selalulah menjaga perilaku kita agar tidak memalukan para leluhur.
Sumber Penulisan:
1. Berdasarkan cerita turun temurun Masyarakat Tionghoa Indonesia.
2.
http://www.hoktekbio.com/index.php?option=com_content&view=article&id=62:qing-ming-ceng-beng&catid=27:ritual-a-budaya&Itemid=72
3. http://www.wihara.com/forum/artikel-buddhist/6742-cengbeng.html
4. http://www.chinapage.com/festival/qingming.html
5. TRADITIONAL CHINESE CULTURE by Qizhi Zhang.
6. The Legend of the Kite: A Story of China(Make Friends Around the World)by Kuiming Ha, Yiqi Ha. Published by Soundprints
7. http://www.indoforum.org/archive/index.php/t-41419.html
8. http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/42410
9. Dong Zhou Lie Guo Zhi (東周列國志), Feng, Menglong, 1574-1646, 2008.(pertama terbit 1752, Shanghai shu ju)
10. Buletin Maya Indonesia Dharma Mangala, 9 Maret 2004, tahun I, no 7
11. http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/42410
sumber : http://meandconfucius.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar